Kisah Kota Subulussalam bermula sejak periode penamaan tatkala pemberian nama “Subulussalam” pada tanggal 14 September 1962. Nama Subulussalam diberikan oleh ulama kharismatik yang sekaligus Gubernur Aceh pada waktu itu yaitu Alm. Prof. Ali Hasyimi pada saat berkunjung ke daerah Subulussalam. Nama subulussalam diambil dari bahasa arab yang berarti jalan menuju kedamaian/kesejahteraan. Pada waktu itu Subulussalam menjadi Ibukota Kecamatan Simpang Kiri yang tergabung dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Selatan.
Pemberian nama Subulussalam mengandung makna ibadah, yang tujuan pemberian nama itu dicita-citakan bahwasanya Subulussalam akan menjadi Kota Ibadah. Pemberian nama seperti Subulussalam ini juga dilakukan oleh Gubernur Aceh Alm. Prof. Ali Hasyimi pada daerah-daerah perbatasan lainnya di Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu yaitu Babussalam di Kabupaten Aceh Tenggara, Nurrussalam di Kabupaten Aceh Timur (Sekarang Aceh Tamiang).
Kita pantas bertanya apakah makna Gubernur Aceh Alm. Prof. Ali Hasyimi memberikan nama Subulussalam, Babussalam dan Nurussalam pada waktu itu? Jawabannya tidak lain adalah bahwa di daerah-daerah perbatasan Daerah Istimewa Aceh akan dijadikan sebagai kota ibadah yang berlandaskan Syari?at Islam. Dengan simbol nama-nama tersebut kota-kota kecil yang diberikan nama ke Islaman itu akan tumbuh berkembang syari?at Islam yang sinarnya akan sampai ke Darussalam di Banda Aceh. Ini menjadi semacam hubungan batin yang erat dalam konteks ke-Aceh-an.
Memetik rangkaian kisah tersebut sejak tahun 1962 sampai dengan 1999, maka pada kurun waktu tersebut kita harus mengakui bahwasanya sejak NAMA SUBULUSSALAM diberikan dan ditabalkan maka Subulussalam menunjukkan kemajuan dan perkembangannya melebihi perkembangan kota-kota lainnya yang berada Kabupaten Aceh Selatan. Penamaan itu juga melecut semangat dan menjadi simbol untuk proses perkembangan Subulussalam berikutnya menjadi daerah otonom.
Kisah Kota Subulussalam periode pembentukan sebagai daerah otonom, bermula sejak tanggal 27 April 1999 dimana saat itu terjadi pemekaran Kabupaten Aceh Singkil dari Kabupaten Aceh Selatan. Pada saat itu terjadi perebutan ibukota antara masyarakat Kecamatan Singkil dengan masyarakat Kecamatan Simpang kiri dimana kedua kelompok masyarakat tersebut menginginkan ibukota Kabupaten Aceh Singkil terletak di Singkil dan di Subulussalam. Dalam perebutan ibukota ini diwarnai gelombang unjuk rasa ribuan orang masyarakat Kecamatan Simpang Kiri yang tidur dijalanan untuk menghalangi rombongan Gubernur Aceh pada waktu itu (Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud) yang menuju ke Singkil untuk meresmikan Kabupaten Aceh Singkil dengan ibukotanya di Singkil..
Dengan dilandasi musyawarah dan mufakat akhirnya aksi unjuk rasa tersebut dapat diredam dengan baik oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan, tokoh masyarakat dan ulama-ulama pada waktu itu. Salah satu mufakat pada waktu itu adalah bahwa Subulussalam nantinya akan dijadikan juga sebagai daerah otonom seperti Kabupaten Aceh Singkil.
Dalam proses menuju ke arah terbentuk sebuah daearah otonom diperlukan persyaratan secara fisik yaitu wilayah yang akan dijadikan sebagai daerah otonom tersebut minimal terdiri dari 4 Kecamatan. Dengan dilandasi semangat kebersamaan dan saling mendukung satu dengan yang lainnya, maka proses tersebut dimulai dengan baik dan sempurna dimana semula Subulussalam menjadi ibukota dari Kecamatan Simpang Kiri dan Kecamatan Simpang Kiri merupakan salah satu Kecamatan dari 4 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Aceh Singkil maka demi menuju cita-cita untuk menjadi sebuah daerah otonom wilayah Kecamatan Simpang Kiri dimekarkan menjadi 7 Kecamatan.
Kronologis pembentukan Kecamatan-Kecamatan Eks. Simpang Kiri dimulai pada tahun 2000 dimana Kecamatan Simpang Kiri dimekarkan dengan Pembentukan Kecamatan Rundeng sehingga wilayah Kecamatan Simpang Kiri terpecah menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Rundeng dan Kecamatan Simpang Kiri. Kemudian pada Tahun 2001 terjadi lagi pemekaran dari kecamatan Simpang Kiri sebanyak 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Penanggalan, Kota Baharu dan Kecamatan Sultan Daulat sehingga wilayah Simpang Kiri terpecah menjadi menjadi 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Simpang Kiri, Kecamatan Rundeng, Kecamatan Kota Baharu, Kecamatan Penanggalan dan Kecamatan Sultan Daulat.
Selanjutnya pada pertengahan tahun 2002 terjadi lagi pemekaran Kecamatan dari Kecamatan Simpang Kiri sebanyak 1 Kecamatan yaitu pembentukan Kecamatan Singkohor sebagai pemekaran dari Kecamatan Kota Baharu sehingga wilayah Kecamatan Simpang Kiri terpecah menjadi 6 Kecamatan yaitu Kecamatan Simpang Kiri, Kecamatan Rundeng, Kecamatan Kota Baharu, Kecamatan Penanggalan, Kecamatan Sultan Daulat dan Kecamatan Singkohor. Dan terakhir pada awal tahun 2005 terjadi pemekaran Kecamatan yang berasal dari wilayah Kecamatan Simpang Kiri sebanyak 1 Kecamatan yaitu dengan pembentukan Kecamatan Longkib sebagai pemekaran dari Kecamatan Rundeng sehingga wilayah Kecamatan Simpang Kiri terpecah menjadi 7 Kecamatan yaitu Kecamatan Simpang Kiri, Kecamatan Rundeng, Kecamatan Kota Baharu, Kecamatan Penanggalan, Kecamatan Sultan Daulat, Kecamatan Singkohor dan Kecamatan Longkib.
Dengan demikian dalam pemekaran Kecamatan Simpang Kiri yang terjadi pada kurun waktu 1999-2005 terpecah menjadi 7 Kecamatan dan dengan terjadinya pemekaran Kecamatan-Kecamatan tersebut secara fisik wilayah Subulussalam telah memenuhi persyaratan untuk membentuk daerah otonom Kabupaten atau Kota sehingga pada akhir tahun 2002 memunculkan tuntutan dari berbagai elemen masyarakat untuk membentuk Kota Subulussalam sebagai Pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil.
Sejak saat itu proses pembentukan Kota Subulussalam dimulai, ditandai dengan dibentuknya Panitia Persiapan Pembentukan Kota Subulussalam yang dipimpin oleh H. Asmauddin, SE. Kemudian panitia tersebut melalui spirit kebersamaan dengan berbagai komponen masyarakat mengumpulkan dukungan-dukungan kemauan politik masyarakat untuk membentuk Kota Subulussalam dengan bentuk dukungan dengan membuat pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh berbagai komponen dari seluruh masyarakat yang berada di wilayah Kota Subulussalam baik dari masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, partai politik, organisasi kepemudaan serta organisasi keagamaan.
Langkah berikutnya dengan semangat kebersamaan pula, maka tuntutan masyarakat untuk membentuk Kota Subulussalam juga direspons secara positif oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil (dibawah kepemimpinan Alm. H. Makmursyah Putra, SH) dan DPRD Aceh Singkil (dibawah kepemimpinan Alm. H. Usman Arifin, SH), dimana Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil telah memberikan dukungan melalui Surat Bupati Aceh Singkil Nomor : 146.1/2520/2002 Tentang Dukungan Pembentukan Kota Subulussalam, sementara pihak DPRD Aceh Singkil juga memberikan dukungan melalui Keputusan Ketua DPRD Aceh Singkil Nomor : 13/KPTS/DPRD/2002 Tentang Persetujuan Atas Pembentukan Kota Subulussalam Sebagai Pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil.
Setelah melalui berbagai perjuangan yang sangat panjang dengan dilandasi oleh semangat kebersamaan yang tinggi, sikap saling menghargai dan saling mendukung satu dengan yang lainnya maka pada tanggal 2 januari 2007 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 atau ± 5 Tahun sejak muncul tuntutan pemekaran akhirnya lahirlah ke Bumi Pertiwi KOTA SUBULUSSALAM. Dan pada tanggal 15 Juni 2007 Kota Subulussalam diresmikan pemerintahannya oleh Menteri Dalam Negeri Ad Interim Bapak Widodo AS di Banda Aceh sekaligus pelantikan Penjabat Walikota yang pertama yaitu H. Asmauddin, SE, dilanjutkan oleh Pj. Walikota Drs. H. Martin Deski, MM, dan Walikota Definitif dua kali dijabat H. Merah Sakti dan saat ini dijabat Walikota H. Affan Alfian.